Manis Pembawaannya, tapi Keras Hatinya
Kalau hidup dimulai dari umur 40 tahun (life begins at fourty),
Pak Jakob Utama, pemilik grup Kompas-Gramedia itu, baru mulai hidup
lagi untuk yang kedua kalinya pada 27 September minggu lalu.
Jarang ada berita wartawan merayakan ulang tahun ke-80 seperti Pak
Jakob Oetama. Yang sering adalah berita wartawan mati muda: sakit lever
karena bekerja tidak teratur, terkena kanker karena tiap malam stres
terkena deadline, terbunuh di medan pergolakan atau terlibat kecelakaan
lalu lintas.
Rasanya kini tinggal tiga wartawan yang berusia di atas 80 tahun:
Jakob Oetama dan Herawati Diah. Memang, ada tokoh seperti Harjoko
Trisnadi yang juga lebih dari 80 tahun dan sangat sehat. Tapi, dia lebih
dikenal sebagai pengusaha pers daripada wartawan, meski awalnya juga
wartawan.
Yang lumayan banyak adalah calon wartawan berumur 80 tahun: Fikri
Jufri (75, Tempo), Rahman Arge Makassar (76), Lukman Setiawan (76,
Tempo), Ja”far Assegaf (78, Media Indonesia), dan beberapa lagi.
Ini berarti rekor usia wartawan terpanjang kini dipegang Ibu Herawati
Diah. Beliau lahir pada 3 April 1917, yang berarti tahun ini berusia 94
tahun. Pak Rosihan Anwar sebenarnya juga hampir mencapai 90 tahun.
Tapi, tak disangka-sangka dia meninggal mendadak pada usia 89 tahun, 14
April lalu.
Mungkin karena beda generasi, saya tidak akrab dengan dua tokoh pers
yang dikaruniai usia yang begitu panjang. Saya mengenal Ibu Herawati
Diah karena sempat berhubungan bisnis sekitar lima tahun, tapi terbatas
hanya bicara perusahaan. Yakni, ketika suaminya, B.M. Diah, pemilik
harian Merdeka yang juga mantan Menteri Penerangan, menyerahkan
pengelolaan harian Merdeka yang lagi pingsan kepada saya pada 1994.
Setelah B.M. Diah meninggal dan saham Merdeka beralih ke putranya,
kerja sama itu berakhir. Sebagian besar pengelolanya, di bawah pimpinan
Margiono, kemudian mendirikan Rakyat Merdeka. Margiono, yang masih
memimpin Rakyat Merdeka sampai sekarang menjadi ketua umum PWI
(Persatuan Wartawan Indonesia) pusat.
Lima tahun sering rapat bersama, saya bisa menarik kesimpulan mengapa
Ibu Herawati Diah bisa berusia begitu panjang. Hatinya sangat baik,
berpikirnya longgar, bicaranya sangat terkontrol, dan pembawaannya
sangat tenang. Disiplinnya sangat tinggi, termasuk dalam hal makanan.
Karena itu, Ibu Herawati terjaga langsing sampai sekarang. Ibu Herawati
bisa mewakili sosok wanita intelektual yang bergaya elegan. Beliau
tercatat sebagai wanita pertama Indonesia yang sekolah di luar negeri
(Amerika Serikat).
Mengapa saya juga tidak akrab dengan Pak Jakob Oetama? Di samping
beda generasi, kami berbeda tempat tinggal. Pak Jakob di Jakarta, sedang
saya berbasis di Surabaya. Tapi, penyebab utamanya adalah karena kami
berdua termasuk orang yang sangat fokus ke perusahaan masing-masing.
Kami berdua sama-sama lebih mementingkan sibuk memajukan perusahaan
masing-masing daripada misalnya menghadiri pesta-pesta, atau
bergentayangan di kafe atau rapat-rapat organisasi. Begitu sulit kami
menemukan kesempatan berinteraksi.
Beliau memang sangat lama menjadi ketua umum SPS (Serikat Penerbit
Surat Kabar, kini bernama Serikat Perusahaan Pers), namun tidak pernah
habis-habisan mempertaruhkan waktunya di situ. Beliau termasuk tokoh
yang tidak mau menjadikan organisasi pers sebagai batu loncatan untuk
berkarir di politik.
Karena itu, beliau enak saja ketika akhirnya meminta saya agar mau
dipilih sebagai ketua umum SPS untuk menggantikannya. Sikap saya juga
mirip itu. Saya tidak akan mau dicalonkan sepanjang beliau masih mau
menjadi ketua umumnya. Bahkan, ketika suatu saat saya dicalonkan menjadi
ketua PWI Jatim, saya mengajukan syarat: asal PWI jangan terlalu aktif.
Itu saya maksudkan agar tugas wartawan yang utama tidak terganggu
oleh gegap gempita organisasi. Saya tidak ingin PWI-nya maju, tapi mutu
koran merosot. Saya juga tidak malu kalau kantor PWI menjadi sepi.
Sebab, itu berarti mereka sibuk menggali berita.
Pak Jakob adalah contoh dari sedikit orang yang bisa fokus. Sejak
pikiran sampai tindakan. Godaan-godaan di luar pers tidak pernah
meruntuhkan kefokusannya mengurus media. Padahal, sebagai pemimpin dan
pemilik grup media nasional yang terbesar dan paling berpengaruh,
pastilah begitu banyak rayuan dan iming-iming.
Beliau tidak tergoda sama sekali. Beliau terus saja konsentrasi
mengurus Kompas dan grupnya. Karena itu, kalau pada akhirnya kita
menyaksikan Kompas-Gramedia begitu sukses, kita tidak boleh melupakan
bahwa itulah hasil nyata dari karya orang yang sangat fokus.
Generasi yang lebih muda (meski sekarang saya sudah tergolong
generasi tua) memberikan dua penilaian kepada Jakob Oetama. Beliau
dikecam sebagai wartawan penakut. Bukan sosok wartawan pejuang yang
gagah berani menantang maut, seperti Mochtar Lubis (Indonesia Raya),
atau Rosihan Anwar (Pedoman), atau Tasrif (Abadi), Aristides Katoppo
(Sinar Harapan), Nono Anwar Makarim (Kami), Goenawan Mohamad (Tempo),
dan beberapa lagi.
Di pihak lain dia dipuji sebagai wartawan yang santun, mengurus anak
buah (termasuk kesejahteraan wartawan) dengan baik, dan sosok yang
sangat menonjol tepo seliro-nya. Beliau juga tokoh yang kalau berbicara
di depan umum lebih mengedepankan filsafat daripada masalah-masalah yang
praktis. Misalnya, filsafat kritik. Sampai-sampai di era Orba itu
muncul berjenis-jenis filsafat kritik. Ada kritik pedas macam Mochtar
Lubis, kritik manis model Jakob Oetama, atau kritik jenaka model
Goenawan Mohamad.
Kepribadian yang manis seperti itulah yang membuat pemerintah Orde
Baru sangat percaya kepada Jakob Oetama. Sebuah kepercayaan yang
ternyata juga tidak mutlak dan tulus. Pada suatu saat Kompas ikut
dibredel juga, meski kemudian diizinkan terbit kembali. Tentu salah Orba
juga mengapa memercayai Jakob Oetama. Padahal, di balik kehalusan dan
kemanisannya itu tetaplah dia seorang wartawan yang asli. Manis hanyalah
pembawaannya. Sikap batinnya tetaplah keras.
Kepercayaan yang begitu tinggi dari pemerintahan Orde Baru itu bukan
tidak ada ruginya bagi Kompas. Setidaknya menurut saya. Akibat
kepercayaan itu regenerasi di pucuk pimpinan Kompas menjadi terhambat.
Umur 37 tahun saya sudah berhenti menjadi pemimpin redaksi Jawa Pos. Ini
agar berganti kepada generasi yang lebih muda. Umur 39 tahun saya sudah
berhenti menjadi pemimpin umum Jawa Pos. Pak Jakob Oetama terus menjadi
pemimpin redaksi dan pemimpin umum sampai usia hampir 70 tahun.
Saya tahu itu bukan kehendak beliau sendiri. Siapa pun tahu bahwa
untuk mengganti pemimpin redaksi, saat itu, harus minta izin menteri
penerangan. Pemerintah merasa lebih tenang kalau Kompas dipimpin Jakob
Oetama daripada misalnya tokoh muda yang mungkin lebih radikal.
Bagi saya pribadi Jakob Oetama adalah “lawan” yang harus saya
hormati, tapi juga harus saya kalahkan. Saya menempatkan diri sebagai
“penantangnya”. Baik dalam bidang jurnalistik maupun dalam bidang bisnis
pers. Sebagai penantang saya merasakan bukan main susahnya hidup di
luar dominasi Kompas. Kompas sudah menjadi koran dan koran sudah menjadi
Kompas. Semua minta agar koran itu harus seperti Kompas. Bahkan, kalau
ada wartawan baru keinginannya menulis ternyata juga harus seperti gaya
Kompas.
Tentu saya tidak suka semua itu. Kalau hanya mengikuti Kompas,
selamanya hanya akan menjadi ekornya. Tidak akan bisa menjajarinya.
Karena itu, saya mengambil jalan yang sangat berbeda. Bukan dari ibu
kota menguasai nusantara, tapi dari nusantara menguasai Indonesia. Di
bidang jurnalistik juga harus berbeda. Jawa Pos memilih jurnalistik
bertutur. Untuk wartawan baru saya langsung mencekokkan doktrin “jangan
ketularan penyakit Kompas”.
Kata “penyakit” di situ terpaksa saya pakai bukan karena gaya Kompas
itu jelek, tapi hanya karena harus dihindari. Agar wartawan Jawa Pos
benar-benar punya gaya yang berbeda. Maafkan saya pernah menggunakan
kata penyakit itu, Pak Jakob. Tentu saya tidak akan tersinggung kalau
ada pihak lain menggunakan istilah yang sama: penyakit Jawa Pos.
Memang di kalangan pers sempat muncul istilah “perang total”
Kompas-Jawa Pos. Tapi, itu hanya di permulaan. Pada akhirnya semua orang
tahu bahwa Kompas dan Jawa Pos bergerak di medan yang berbeda. Kompas
dengan majalah-majalahnya yang luar biasa, dengan toko bukunya yang the
best dan biggest, dengan hotel-hotelnya yang meluas dan dengan bidang
usaha yang meraksasa ternyata punya pasarnya sendiri.
Demikian juga Jawa Pos dengan koran-koran daerahnya, pabrik
kertasnya, dan jaringan TV lokalnya juga punya dunianya sendiri.
Keduanya masih terus membesar tanpa ada salah satu yang kalah. Inilah
dinamisnya persaingan yang sehat. “Pertempuran” itu telah berakhir.
Bukan hanya karena masing-masing sudah menempati makom-nya, tapi juga
karena masing-masing sudah tua. Pak Jakob sudah 80 tahun. Sudah memilih
dan memiliki CEO baru yang sangat andal, Agung Adiprasetyo. Saya sudah
60 tahun dan Jawa Pos juga sudah dipimpin Azrul Ananda yang berumur 34
tahun. Pak Jakob mungkin sudah tinggal menjadi pendetanya di Kompas dan
bahkan saya sudah bukan siapa-siapa lagi di Jawa Pos, kecuali hanya
pemegang sahamnya.
Hasil pertempuran itu sudah final: saya tidak mampu mengalahkan Pak
Jakob Oetama. Kompas Group masih jauh lebih gede daripada Jawa Pos Group
meski koran Jawa Pos sudah tidak kalah besar dari koran Kompas.
Yang lebih penting: saya melihat Pak Jakob sangat berbahagia dalam
hidupnya. Dia mengerjakan bidang yang sangat disenanginya. Dia berhasil
menjadi kaya raya. Dia diberi rahmat sangat panjang usianya. Belum tentu
saya bisa sebahagia Pak Jakob Oetama. Belum tentu saya bisa
membahagiakan orang lain sebesar dan sebanyak yang dilakukan Pak Jakob
Oetama. Belum tentu juga saya bisa mencapai usia 80 tahun seperti Pak
Jakob Oetama.(*)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
@Diyan Lesmana. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar